Tampilkan postingan dengan label JAYAPURA. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label JAYAPURA. Tampilkan semua postingan
Pdt. Socrates Sofyan Yoman, MA (Foto: Ist) |
Gereja-Gereja Universal dalam solidaritasnya dengan Gereja-Gereja dan suara umat Tuhan di Tanah Papua telah merekomendasikan hak untuk menentukan nasib sendiri (The Right for Self Determination) rakyat Papua kepada Presiden SBY.
Hal ini disampaikan oleh Ketua Umum Badan Pelayan Pusat Persekutuan Gereja-Gereja Baptis Papua, Pdt. Socrates Sofyan Yoman, MA, saat menggelar konfrensi pers siang tadi, Kamis (22/12) di Kantor Sinode KIGMI, Jayapura, Papua.
Menurut Yoman, wajah Indonesia di tanah Papua adalah pembantaian, pembunuhan, pemerkosaan, operasi militer, diskriminasi, dan berbagai stigma negative lainnya.
“Orang Papua selalu distigmakan sebagai separatis, makar, TPN/OPM. Ini memberikan legitimasi kepada pemerintah Indonesia untuk terus membunuh semakin banyak orang asli Papua,” tegas Yoman.
Lanjut Yoman, Undang-Undang Otsus yang dianggap sebagai solusi politik untuk menyelesaikan masalah Papua juga telah gagal total.
“Kami telah menyimpulkan UU Otsus gagal, tapi pemerintah sekarang paksa lagi kasih UP4B. Apalagi dalam UP4B ini tidak libatkan orang Papua untuk ikut menyusunnya,” imbuh Yoman.
Dalam pertemuan tersebut, Yoman juga mengatakan Gereja telah mengusulkan beberapa hal kepada Presiden, diantaranya meminta menarik semua pasukan non-organik dari Papua, membebaskan tahanan politik, dan mencabut PP No. 77/2007 tentang larangan penggunaan simbol-simbol bernuansa separatis di Aceh, Maluku, dan Papua.
“Termasuk minta agar segera menghentikan Operasi Tuntas Matoa 2011 yang sedang berlangsung di Paniai sejak tanggal 12 Desember yang telah menewaskan 14 orang warga sipil, melukai puluhan lainnya, dan membakar kampung-kampung,” tambah Yoman.
Mengakhiri komentarnya, Yoman mengatakan Presiden SBY juga telah berjanji akan kembali bertemu dengan pimpinan Gereja di pertengahaan bulan Januari 2012.
“Kami akan kembali bertemu dengan SBY pada minggu ketiga bulan Januari 2012,” tutup Yoman.
Dalam konfresi pers tersebut hadi juga Pdt. Dr. Benny Giay, Ketua Sinode Kingmi di tanah Papua, Mantan Ketua Umum PGI, Pdt. Dr. Phil Erari.
OKTOVIANUS POGAU
Pdt. Dr. Benny Giay, (Foto: Ist) |
Demikian penegasan Pdt. Dr. Benny Giay, Ketua Sinode Kingmi di tanah Papua, ketika menggelar konfrensi pers di Kantor Sinode KIGMI, Jayapura, Papua, siang tadi, Kamis (22/12).
Menurut Benny, seharusnya bulan Desember ini merupakan saat untuk berdamai, saat untuk berdialog, juga saat untuk saling membuka diri dan saling mendengar.
“Namun, fakta yang terjadi dilapangan lain, ada operasi militer yang dilangsungkan di Kabupaten Paniai sejak tanggal 13 Desember, bahkan satu ibu hamil dikabarkan meninggal dunia akibat operasi tersebut.”
Benny melanjutkan, presiden SBY menerima rombongan pimpinan gereja dengan baik, dan bahkan bicara dengan santai sekali.
“Ini berbeda ketika kami bertemu dengan Menkopolhukam dan jajarannya di Jakarta, agak sedikit tegang,” jelasnya.
Benny menjelaskan, Presiden SBY mengatakan akan menyelesaikan masalah Papua dengan membangun dialog dari hati ke hati, tidak represif, tidak dengan operasi militer, dan membangun dialog secara bermartabat dan menyeluruh.
“Dia (SBY) ikat saya dengan janji-janji,” simpul Benny.
Namun, lanjut Benny, saya juga meragukan apakah yang disampaikan SBY akan dilaksanakan juga oleh anak-anak buahnya.
“Saya sempat bertanya kepada SBY, apakah di negara ini ada satu pimpinan atau banyak pimpinan,” tanya Benny, “Dia tidak menjawab pertanyaan saya."
Salah satu cara penyelesaiaan masalah di Papua adalah kami meminta Pemerintah membuka diri menggelar DIALOG yang inklusif, tanpa syarat, yang adil, bermartabat dan komprehensif dengan rakyat Papua, dengan dimediasi oleh pihak ketiga yang netral.
“Bukan model dialog dalam UP4B, tapi dialog yang dimediasi oleh pihak ketiga yang netral,” urai Benny.
Dalam konfrensi pers tersebut hadir juga Ketua Gereja Baptis Papua di tanah Papua Pdt. Socrates Sofyan Yoman, Mantan Ketua Umum PGI Pdt. Dr. Phil Erari.
OKTOVIANUS POGAU
Aksi SKRP di kantor DPRP (Foto: Oktovianus Pogau) |
Awalnya, sekitar pukul 11.00 WIT massa berkumpul di di Depan Kantor Pos, Abepura, Jayapura, Papua. Secara bergantian massa terus berorasi mengutuk operasi militer yang dilakukan tepat di bulan Desember.
“Ini sudah memasuki bulan desember, bulan damai dan tenang bagi masyarakat Papua, masyarakat Paniai juga ingin merayakan natal secara aman, damai dan tentram, jadi sebelum tanggal 24 Desember situasi Paniai harus aman dan kondusif,” tegas Yosias Yeimo, salah satu orator dalam aksi tersebut.
Setelah puas berorasi, sekitar pukul 12.00 WIT massa bergerak menuju kantor DPRP menggunakan dua buah truck, dan satu buah mobil komando.
Massa juga membawah beberapa poster dan tiga buah spanduk yang bertuliskan kecaman terhadap aksi brutal aparat TNI/Polri yang telah melakukan operasi militer di Paniai.
Setibanya di DPRP, salah satu kordinator lapangan, Sebedeus Selegani menyampaikan maksud dan tujuan aksi tersebut untuk disikapi secara serius oleh DPRP.
“Sampai saat ini keluarga, teman-teman, serta saudara-saudara kami telah menjadi korban dari keganasan militer Indonesia. Kami minta setelah aksi hari ini, DPRP segera turun ke Paniai dan melakukan investigasi,” tegasnya.
Sebedeus meminta, TNI/Polri harus menghentikan pengejaran terhadap warga sipil yang tidak bersalah dan tak berdosa di Kabupaten Paniai.
“Warga sipil tidak bersalah, dibulan Desember ini mereka ingin merayakan natal, segera hentikan operasi, agar mereka bisa merayakan natal dengan aman dan damai,” jelasnya.
Lanjut Sebedus, Bupati Paniai, DPRD, dan Kapolres Paniai harus ditangkap untuk pertanggung jawabkan perbuatan mereka.
“Jika ada warga sipil yang tewas, ada operasi militer, dan warga sipil merasa tidak aman, tentu mereka (pejabat setempat) yang harus bertanggung jawab,” katanya lagi.
“Pemerintah Indonesia harus membuka akses agar lembaga swadaya masyarakat, wartawan, dan pemantau HAM bisa melakukan invesitagasi secara menyeluruh terkait operasi militer di Paniai,” ungkapnya.
Setelah membacakan pernyataan sikap, massa diterima oleh beberapa anggota DPRP asal wilayah IV (Paniai, Nabire, Intan Jaya, Timika, dan Dogiya, Deiyai).
Ruben Magai, yang juga Ketua Komisi A DPRP, ketika menemui massa menjelaskan aksi baku tembak yang terjadi di Paniai agak rumit dihentikan karena pengiriman aparat tanpa ada kordinasi dengan DPRP sebagai wakil rakyat.
“Dari Jakarta kirim aparat, baik TNI dan Polri secara terstruktur, terorganisir, dan bahkan kadang dilakukan tanpa kordinasi yang jelas dengan Kapolda dan Pangdam sekalipun,” jelas Ruben.
Ruben melanjutkan, dunia internasional sedang menyoroti aksi brutal yang dilakukan aparat militer di Paniai.
“Berita kekerasan militer di Paniai sudah tersebar kemana-mana, termasuk sampai di dunia internasional,” sebutnya di hadapan massa aksi.
Selain itu Ruben juga mengatakan, untuk menyikapi kasus di Paniai DPRP telah membentuk team Pansus, dan dalam waktu dekat akan berangkat ke Paniai.
“Beberapa hari lalu team Pansus telah dibentuk, dalam waktu dekat akan berangkat ke Paniai untuk bertemu dengan pejabat-pejabat terkait untuk meminta keterangan. Kami juga akan mengumumkan siapa yang bertanggung jawab atas kasus di Paniai,” tegas Ruben.
Setelah memberikan penjelasan, DPRP meminta agar massa bersabar sampai DPRP kembali ke Jayapura untuk mengumukan hasil pertemuan yang mereka temui di lapangan.
Setelah mendengar penjelasan dari DPRP, massa aksi membubarkan diri dengan sendirinya sekitar pukul 15.00 WIT. Aksi tersebut sempat mendapat pengawalan ketat dari aparat kepolisian.
OKTOVIANUS POGAU
Victor Yeimo, Jubir KNPB (Foto: Ist) |
“KNPB menuntut solidaritas negara-negara, termasuk anggota Komite Dekolonisasi PBB agar mendaftarkan wilayah Papua Barat kedalam list dekolonisasi PBB karena wilayah Papua Barat juga merupakan wilayah jajahan yang belum berdaulat sendiri.”
Demikian disampaikan Victor Yeimo, Juru Bicara Internasional KNPB, ketika menghubungi Papua Voices, sore ini, Senin (19/12) dari Jerman.
Menurut Yeimo, Indonesia melalui Trikora telah memaksakan dan mencaplok wilayah Papua Barat kedalam NKRI dengan cara militeristik.
Indonesia juga masih mempertahankan Wilayah Papua Barat dengan cara militeristik, dan sampai kapanpun orang Papua dalam NKRI akan dimusnahkan dengan cara-cara militeristik.
“Oleh karena itu KNPB menyeruhkan solidaritas rakyat di seluruh dunia untuk melakukan perlawanan terhadap resim militeristik Indonesia yang masih menindas dan mengekploitasi rakyat dan tanah air Papua Barat sampai saat ini,” ungkapnya.
Yeimo juga mengatakan, niat bangsa Papua untuk bebas dari kungkungan neokolonialisme Indonesia tidak dapat dibendung lagi oleh segala kebijakan NKRI di tanah Papua.
“KNPB menyeruhkan buka ruang referendum bagi rakyat Papua Barat untuk menentukan nasipnya sendiri,” tegas salah aktivis Papua Merdeka yang pernah mendekam dipenjara akibat aktivitas politiknya.
OKTOVIANUS POGAU
Korlap Aksi, Herman Katmo (Foto: Timo Marten) |
Dari pantauan Papuan Voices, sekitar pukul 11.00 WIT massa aksi bergerak dari Permunas III menuju Perumnas I di Expo, Waena. Setibanya di Expo, massa melakukan orasi-orasi politik disertai dengan teriakan yel-yel Papua Merdeka, mengutuk pelanggaran HAM, dan meminta agar Indonesia membuka ruang berunding.
Sekitar pukul 12.00 WIT , massa aksi mulai bergerak menuju Abepura, dan berhenti tepat di depan Kantor Pos, Abepura.
Sambil membuka spanduk dan belasan poster-poster pelanggaran hak asasi manusia (HAM), massa aksi terus bergantian berorasi sambil mengajak warga sekitar Abepura, khususnya masyarakat asli Papua untuk bergabung dalam aksi tersebut.
“Sejak Indonesia menguasai tanah Papua, mereka telah melakukan pembunuhan, pembantaian, pemerkosaan, bahkan sampai penghilangan paksa orang asli Papua, satu-satunya solusi adalah Papua harus merdeka,” tegas Bovit, salah satu orator dalam aksi tersebut.
Setelah puas berorasi, Kordinator Lapangan, Herman Katmo membacakan delapan point pernyataan sikap Garda-P;
Pertama: menuntut pemerintah Indonesia segera membuka diri untuk melakukan perundingan dengan wakil-wakil rakyat bangsa Papua yang dimediasi pihak ketiga yang netral.
Kedua: mendesak perlunya intervensi Internasional demi pelaksanaan perundingan guna penegakan HAM dan demokrasi di tanah Papua, serta demi adanya perubahan signifikan terhadap kehidupan rakyat Papua yang terus mengalami penderitaan.
Ketiga: mendesak pemerintah Indonesia segera menarik pasukan organik dan non-organik (demiliterisasi) secara menyeluruh di tanah Papua.
Keempat: bebaskan TAPOL/NAPOL Papua, dan pemerintah Indonesia harus membuka akses bagi masuknya jurnalis dan pemantau HAM internasional di tanah Papua.
Kelima: menolak semua bentuk kebijakan reaksioner pemerintah Indonesia yang melegitimasi kegagalannya dengan memberi Otonomi Khusus Papua, seperti Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B) maupun dialog konstruktif sepihak yang dibuat dengan melibatkan elit-elit dan institusi pilihan pemerintah Indonesia (menolak dialog dalam bingkai NKRI).
Keenam: mendesak kepada Amerika Serikat, Australia, dan Selandia Baru segera menghentikan kerja sama militer dengan pemerintah Indonesia karena cenderung berdampak pelanggaran HAM berat terhadap rakyat sipil di Papua Barat.
Ketujuh: mendesak agar dilakukannya memoratorium (penghentian) segala bentuk ekspolitasi Sumber Daya Alam (SDA) Papua yang cenderung berdampak menyengsarakan dan memiskinkan rakyat Papua Barat karena lebih menguntungkan korporasi Nasional/Internasional bersama pemerintah Indonesia.
Kedelapan: menyerukan kepada masyarakat Internasional untuk menyeret dan mengadili Presiden Indonesia SBY di pengadilan internasional (international court) sebagai salah satu penjahat kemanusiaan.
Seusai membacakan pernyataan sikap, sekitar pukul 13.30 WIT, massa aksi dengan tenang membubarkan diri.
Dari pantauan media ini, dalam jalannya aksi tidak ada aparat keamanan yang berjaga-jaga, berbeda dengan aksi-aksi sebelumnya yang selalu dijaga super ketat.
OKTOVIANUS POGAU
Massa Garda-P saat aksi di DPRP (Foto: Ist) |
Sambil memegang dua buah spanduk besar, belasan poster-poster pelanggaran HAM, dan menggunakan 1 mobil komando massa terus berorasi secara bergantian.
Herman Katmo, salah satu orator mengatakan pemerintah Indonesia harus segera membuka diri untuk berunding secara damai, adil, dan bermartabat dengan wakil-wakil rakyat Papua yang telah ditentukan.
“Untuk menghormati dan menghargai hak asasi manusia, asas-asas demokrasi, perdamaiaan dan ketertiban dunia, kami minta pemerintah Indonesia segera membuka diri untuk berunding dengan wakil-wakil rakyat Papua Barat,” tegas Herman.
Menurut Herman, berbagai program dan kebijakan yang diberikan pemerintah Indonesia justru akan menambah persoalan baru di tanah Papua.
“Program-program baru, termasuk operasi militer yang terus dilakukan secara berkala justru perkeruh suasana perdamaian di tanah Papua,” imbuhnya.
Lanjut Herman, gula-gula Otsus, termasuk UP4B juga tak akan menyelesaikan persoalan di Papua secara menyeluruh, adil dan bermartabat.
Pantauan Papuan Voices, massa aksi awalnya bergerak dari Perumnas III menuju ke Expo, dan ketika berita ini diturunkan massa aksi sedang melanjutkan ke Lingkaran Abepura, Jayapura, untuk terus melakukan orasi-orasi politik.
OKTOVIANUS POGAU
Selamat natal untuk mama-mama Papua (Foto: Ist) |
PAPUAN, Jayapura --- Bertempat di Pasar sementara, Jalan Percetakan, Jayapura, Papua, Minggu (18/12) kemarin sore, untuk pertama kalinya ratusan mama-mama pedang asli Papua merayakan ibadah natal bersama.
Adapun Tema ibadah natal, “Bangsa yang berjalan didalam kegelapan, tetaplah melihat terang besar,” dan Sub Tema: “Dengan semangat natal 2011, pasar mama Papua siap menjadi terang bagi dunia dan bagi sesama.”
Pantauan Papuan Voices, sejak pukul 05.00 sore, ratusan tamu undangan baik dari Pemerintah Provinsi, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), tokoh agama dan tokoh perempuan, serta pemuda dan mahasiswa, termasuk mama-mama pedagang asli Papua telah memadati pasar tempat natal akan dilangsungkan.
Pdt. Jetina Kogoya, dalam renungan singkat yang diambil dari kitab Yesaya pasal 9:1-5 menyampaikan bahwa mama-mama pedagang asli Papua harus menjadi terang bagi dunia, terutama bagi sesama umat manusia.
Menurut Jetina, terang sangat diperlukan bagi setiap manusia. “Jika kita, terutama mama-mama berjalan dalam terang, maka kita akan sampai pada tujuan yang tepat.”
“Kita jangan saling membeda-bedakan, tapi harus menjadi terang bagi dunia, terutama bagi diri kita sendiri, dan tetap menjaga persatuan diantara kita bersama,” ajak Jetina kepada mama-mama Papua.
“Baik di pasar, dirumah, dijalan, atau dimana saja kita harus menjadi terang dan pembawah damai, karena kelahiran Yesus ke dalam dunia ini juga membawah terang dan damai bagi kita umat manusia,” urainya.
Ia juga salut dan bangga karena mama-mama pedagang asli Papua secara mandiri bisa menyelenggarakan natal yang menurutnya sangat luar biasa dan berkesan.
“Terima kasih buat panitia natal yang telah percayakan saya membawah renungan di ibadah natal ini,” tutupnya.
Sementara itu, Sekertaris Panitia natal, Ibu Jecklin Yikwa dalam laporannya mengatakan ikut senang dan bahagia karena mama-mama pedang asli Papua untuk yang pertama kalinya bisa merayakan ibadah natal secara bersama-sama.
“Ini natal yang pertama kali sejak pasar sementara ini dibangun pemerintah Provinsi pada 20 Desember 2010, dan kami menempati pasar ini sejak tanggal 7 maret 2011. Ini sebuah kebanggaan jika kita bisa merayakan natal saat ini,” tegas Ibu Jekclin disambut tepuk tangan seluruh tamu undangan.
Mama Jeklin juga menegaskan bahwa perjuangan mama-mama pedagang asli Papua tidak akan pernah berhenti sampai hanya mendapatkan pasar sementara.
“Perjuangan kami adalah agar pemerintah provinsi dapat membangun pasar permanen. Karena itu yang kami tuntut dari dulu sampai saat ini,” jelasnya dalam sambutan tersebut.
Ia mewakili panitia dan mama-mama pedagang asli Papua menyampaikan terima kasih atas bantuan semua pihak sehingga natal bisa terlaksana dengan baik.
“Natal yang pertama kali ini diselenggarakan di Pasar sementara agar semua unsur dan lapisan masyarakat bisa datang dan mengikutinya, terutama bagi kaum miskin kota disekitar pasar,” katanya.
Mama Jeklin menutup dengan sebuah harapan agar pemerintah provinsi tetap mengusahakan pembangunan pasar permanan yang telah menjadi cita-cita perjuangan mama-mama pedagang asli Papua sejak 8 tahun silam.
Mewakili Pemerintah, Elieser Renmaur, Asisten I Setda Provinsi Papua mengapresiasi usaha dan keras mama-mama pedagang asli Papua sehingga perayaan ibadah natal bisa terselenggara.
“Merayakan natal ditempat seperti ini lebih bagus dan mendapatkan maknanya, dari pada kita menyelenggarakan natal di tempat-tempat mewah, gedung-gedung tinggi, atau di hotel,” tegasnya.
Ia juga berjanji akan menindaklanjuti apa yang disampaikan mama-mama pedagang asli Papua untuk mendapatkan pasar permanen.
“Sejak pasar sementara ini dibangun, pengolahannya telah kami serahkan kepada Walikota, dan jika bapak Walikota memberitahukan kami kalau ada lokasi yang siap untuk dibangun pasar permanan bagi mama-mama, maka pemerintah Provinsi akan mengusahakannya,” janji Elieser di depan mama-mama pedagang asli Papua.
Selain sambutan dari pihak pemerintah, lembaga rakyat yang kali ini diwakili oleh Majelis Rakyat Papua (MRP) juga turut menyampaikan sambutan. Ia diwakili oleh Ketua I MRP, Pdt. Hofni Simbiak.
Hofni mengatakan, MRP selalu mendukung perjuangan yang dilakukan mama-mama pedagang asli Papua untuk mendapatkan pasar permanen. Dan menurutnya, adalah hal yang wajar bilamam-mama terus berjuang.
Sambutan terakahir disampaikan Robert Djitmau, Ketua Solidaritas Pedagang Asli Papua (SOLPAP) mewakili mama-mama pedagang asli Papua.
Dalam sambutannya, Robert meminta agar pemerintah Provinsi tidak hanya janji diatas janji, tapi segera merealisasikan pembangunan pasar permanan.
“Siapapun Gubernur yang nanti terpilih, saya himbau agar bisa segera memperhatikan tuntutan mama-mama asli Papua agar pasar permanen bisa segera dibangun. Nasib mama-mama pedagang asli Papua saya titipkan kepada kalian,” harapnya.
Acara perayaan ibadah natal berlangsung sejak pukul 06.30 WIT sore hingga pukul 08.00 WIT malam. Usai ibadah ditutup, tamu undangan dipersilakan untuk menikmati hidangan yang telah disediakan mama-mama pedangan asli Papua.
OKTOVIANUS POGAU
Demo menuntut Papua Merdeka di Jayapura (Foto: Ist) |
“Kami mengajak seluruh rakyat Papua Barat untuk ikut bergabung dalam aksi demo damai tersebut demi cita-cita pembebasan nasional,” kata Bovit Bofra selaku ketua GARDA-P di dampingi rekannya Karon Mambrasar, saat menggelar jumpa pers di sekretariat BEM Uncen, Abepura, Jumat (16/12) siang tadi.
Menurut Bovit, rakyat Papua Barat tidak pernah lupa sebab pada tanggal 19 Desember 1961 mantan Presiden republik Indonesia, Ir. Sukarno mengumandangkan niat politiknya untuk menguasai tanah Papua secara sepihak.
“Padahal, pada tanggal 1 Desember 1961 rakyat Papua Barat telah dinyatakan merdeka dan menjadi Negara berdaulat secara defacto,” jelas Bovit.
Melalui pidatonya yang berapi-api di alun-alun kota Yogyakarta, dan pada saat itu Sukarno menginstruksikan agar membubarkan ‘Negara Boneka’ buatan Belanda.
“Saat ini kami melihat Trikora sebagai wajah Trikolonialiseme, sehigga aksi damai yang akan kami gelar itu adalah sebagai wujud penolakan rakyat bangsa Papua terhadap Trikora, dan juga Negara Indonesia di tanah Papua.”
Karon menambahkan, sampai saat ini Indonesia masih melakukan penjajahan diatas tanah Papua, karena itu rakyat Papua secara tegas menolak segala bentuk penjajahan tersebut.
“Kami rakyat Papua Barat tidak mau dijajah lagi oleh Negara Indonesia, kami ingin bebas dari segala bentuk penjajahan,” tuturnya.
Menurut Karon, perundingan internasional harus dilakukan untuk menyelesaikan masalah Papua Barat secara menyeluruh, adil dan bermartabat.
“Kami menuntut pemeritah segera adakan perundingan dengan rakyat Papua Barat, tapi sebelum adakan perundingan segera tarik dulu seluruh militer dari tanah Papua,” tutupnya.
Titik kumpul aksi akan dipusatkan di Merpati-Abe, Expo-Waena, Perumnas III. Massa diharapkan berkumpul di tiap titik pukul 08.00 WIT dan akan bergerak ke DPRP pukul 10.00 WIT.
ARNOLD BELAU
Pelanggaran HAM harus di usut tuntas (Detik Foto) |
Tragedi kekerasan di Kampung Berap (Jayapura) dan Kampung Wendenggobak (Puncak Jaya) pada 1 Desember 2011 merupakan inset dari aksi-aksi kekerasan di tanah Papua sepanjang tahun 2011.
Demikian dikemukakan Direktur Lembaga Studi dan Advokasi Hak Asasi Manusia (Elsham) Papua, Ferdinand Marisan ketika menggelar jumpa pers bersama dengan Sinode GKI di tanah Papua di Kantor Elsham, Padang Bulan, Jayapura, Sabtu (10/12) siang kemarin.
Menurut Marisan, pendekatan-pendekatan keamanan yang dilakukan terbukti tidak mampu memberi rasa aman bagi warga Papua, sebaliknya menimbulkan pelanggaran HAM berat.
"Komis Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) harus segere membentuk Komisi Penyelidikan Pelanggaran HAM untuk segera menyelidiki pihak-pihak yang bertangungjawab terhadap dugaan pelanggaran HAM di Papua sepanjang tahun 2011," kata Marisan.
Ia juga meminta agar pemerintah Indonesia merubah pola pendekataan yang selama ini dilakukan.
"TNI/Polri harus melakukan pola pendekataan kemanusiaan dalam penyelesaiaan konflik di tanah Papua, bukan dengan pola pendekatan keamanan," katanya.
Sejak Papua bergabung kedalam negara Indonesia, Marisan mengatakan bahwa pemerintah telah menutupi segala akses ke Papua, termasuk akses untuk jurnalis asing dan lembaga kemanusiaan.
"Pemerintah harus segera membuka akses, agar semua jelas," tegasnya.
Sementara itu Pdt. Dora Balubun, S.Th dari sinode GKI di Tanah Papua meminta agar ada perhatian dari dunia internasional terkait pelanggaran HAM di Papua.
"Pemerintah Selandia Baru, Australia, dan Amerika Serikat agar meninjau kembali semua kerjasama dengan pihak TNI/Polri, terutama klausul yang berkaitan dengan penghormatan terhadap HAM," harapnya.
Pdt. Dora Balubun juga mengharapkan segera berlangsung dialog untuk penyelesaiaan konflik Papua.
"Pemerintah Indonesia segera melakukan dialog yang setara dan komprehensif, guna menyelesaikan akar permasalahan yang memicu terjadinya konflik di Papua selama lebih dari empat dekade," ucapnya.
OKTOVIANUS POGAU
PAPUAN, Jayapura --- Komite Nasional Papua Barat (KNPB) sebagai media rakyat menolak tegas program Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B) yang diberikan pemerintah pusat. Kami menuntut referendum sebagai solusi demokratis dan bermartabat dalam menyelesaikan persoalan Papua.
Hal ini disampaikan Mako Tabuni, Ketua I KNPB saat memberikan keterangan pers kepada wartawan di Prima Garden, Abepura, Papua, Jumat (09/12) lalu.
Menurut Mako, rakyat Papua tidak menginginakn berbagai program dari pemerintah pusat, karena semua telah gagal.
"Dari dulu pemerintah memberikan Otonomi Daerah, Otonomi Khusus, dan yang terbaru adalah UP4B, semua telah gagal, dan bukan keinginan orang Papua," tegasnya.
Pemerintah harus memperhatikan apa yang menjadi tuntutan dan aspirasi masyarakat Papua Barat saat ini. Tidak pernah rakyat Papua Barat demo minta uang Otsus ditambahkan, pemekaran wilayah dilakukan, atau program-program lainnya.
"Kami selalau bersama rakyat demo minta referendum, tapi kenapa sampai saat ini pemerintah pusat takut menjawab,"tanya Mako.
Ia juga menambahkan, jika UP4B tetap dipaksakan hadir di tanah Papua, maka KNPB bersama rakyat Papua akan terus melakukan perlawan.
"Kami akan melakukan perlawanan terhadap semua program pemerintah yang bertujuan mengkelabuhi tuntutan murni rakyat Papua Barat saat ini," tegasnya.
Seminggu lalu, Menteri Dalam Negeri bersama Menteri Kordinator Kesejahteraan, Kapolri, dan Kepala BIN bersama Kepala UP4B, Bambang Dharmono melakukan kunjungan ke Papua. Mereka bermaksud melihat kondisi Papua, serta melakukan sosialisasi UP4B yang sebentar lagi akan berkantor di tanah Papua.
OKTOVIANUS POGAU
SELENGKAPNYA
Hal ini disampaikan Mako Tabuni, Ketua I KNPB saat memberikan keterangan pers kepada wartawan di Prima Garden, Abepura, Papua, Jumat (09/12) lalu.
Menurut Mako, rakyat Papua tidak menginginakn berbagai program dari pemerintah pusat, karena semua telah gagal.
"Dari dulu pemerintah memberikan Otonomi Daerah, Otonomi Khusus, dan yang terbaru adalah UP4B, semua telah gagal, dan bukan keinginan orang Papua," tegasnya.
Pemerintah harus memperhatikan apa yang menjadi tuntutan dan aspirasi masyarakat Papua Barat saat ini. Tidak pernah rakyat Papua Barat demo minta uang Otsus ditambahkan, pemekaran wilayah dilakukan, atau program-program lainnya.
"Kami selalau bersama rakyat demo minta referendum, tapi kenapa sampai saat ini pemerintah pusat takut menjawab,"tanya Mako.
Ia juga menambahkan, jika UP4B tetap dipaksakan hadir di tanah Papua, maka KNPB bersama rakyat Papua akan terus melakukan perlawan.
"Kami akan melakukan perlawanan terhadap semua program pemerintah yang bertujuan mengkelabuhi tuntutan murni rakyat Papua Barat saat ini," tegasnya.
Seminggu lalu, Menteri Dalam Negeri bersama Menteri Kordinator Kesejahteraan, Kapolri, dan Kepala BIN bersama Kepala UP4B, Bambang Dharmono melakukan kunjungan ke Papua. Mereka bermaksud melihat kondisi Papua, serta melakukan sosialisasi UP4B yang sebentar lagi akan berkantor di tanah Papua.
OKTOVIANUS POGAU
Massa KNPB Aksi HAM (Thepapuan/Oktovianus Pogau) |
Sebelumnya massa aksi berkumpul di Lingkaran, Abepura, dan menggunakan belasan truck dan puluhan kendaraan bermotor menuju Taman Imbi, Kota Jayapura.
Dalam perjalanan massa terus meneriakan yel-yel Papua Merdeka, dan meminta digelar referendum dan juga menuntut pelanggaran HAM dihentikan.
“Papua, Merdeka! Papua, merdeka! Papua, Merdeka!,” demikian teriakan massa aksi dalam perjalanan menuju Taman Imbi dari Abepura.
Setibanya di Taman Imbi, massa langsung melakukan tarian waita (tarian adat Papua dari daerah pegunungan), sambil terus meneriakan yel-yel Papua Merdeka.
“Referendum, yes! Referendum, yes! UP4B, no! UP4B, no!,” demikian teriak ribuan massa aksi di taman Imbi, Jayapura.
Ketua Umum KNPB, Bucthar Tabuni dalam orasi politiknya mengatakan bahwa KNPB dengan tegas menolak berbagai program yang ditawarkan pemerintah Indonesia, dan meminta segera dilaksanakan referendum di tanah Papua.
“Berbagai progam yang ditawarkan pemerintah dengan tujuaan menjinakan orang Papua kami dengan tegas menolaknya,” tegas Bucthar.
Ia juga sedikit memberikan klarifikasi soal desas-desus yang berkembang bahwa KNPB ikut menandatangani UP4B untuk masuk di tanah Papua.
“KNPB sama sekali tak pernah terlibat, dan apalagi ikut menyetujui UP4B,” kata Bucthar menjelaskan.
Sementara itu anggota Komnas HAM Papua, Frits Ramandey ketika di temui media ini menyebutkan cukup senang karena KNPB ambil bagian untuk menyelenggarakan acara di hari HAM sedunia ini.
“Kita sama-sama bersolider dengan masyrakat Internasional untuk merayakan hari HAM ini, dan ucapkan terima kasih buat kawan-kawan KNPB yang telah berinisiatif untuk menggelarnya,” kata Frits.
Aksi demo berakhir pada pukul 17.00 WIT. Di tutup dengan doa, dan dibantu aparat kepolisian massa kembali diantar pulang dengan truck-truck yang ada.
OKTOVIANUS POGAU
Aksi Demo massa KARPUK/@Oktovianus Pogau |
Mereka membawah berbagai spanduk dan poster yang intinya mengutuk pelanggaran HAM yang terjadi di tanah Papua, dan meminta pertanggung jawaban pemerintah Indonesia.
Kordinator aksi, Bovit ketika membaca pernyataan sikap menyatakan bahwa pemerintah Indonesia diminta mengusut tuntas kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang terjadi di tanah Papua sejak tahun 1961 sampai tahun 2011.
Ia juga meminta pembebasan seluruh tahanan politik yanga ada di tanah Papua tanpa syarat, dan meminta agar oknum aparat TNI dan Polri yang melakukan pelanggaran HAM di Kongres Rakyat Papua III di adili di pengadilan hukum Internasional.
“Kami juga meminta agar pemerintah segera menghentikan perampasan tanah-tanah adat masyarakat di tanah Papua,” urainya.
Bovit juga menuturkan menolak tegas dialog Jakarta-Papua versi pemerintah Indonesia, dan juga Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B) yang sebentar lagi akan berkantor di tanah Papua.
“UP4B bukan solusi untuk rakyat Papua saat ini,” tegasnya.
Aksi ini di kawal secara ketat oleh aparat kepolisian resort kota Jayapura. Massa membuarkan diri dengan tenang pada pukul 13.00 WIT.
OKTOVIANUS POGAU