Ikandar Murkim, Kepala Kampung Muara Asbe (Fransiskus Kasipmabin - SP) |
OKSIBIL, SUARAPAPUA.com--- Pada tahun 2009 sampai dengan
tahun 2017, data penduduk yang tercacat
di buku penduduk kampung Muara Asbi, Distrik Murkim Kabupaten Pegunungan
Bintang, Papua sebanyak 1000-an waga Negara Papua New Gunea (PNG) sudah menjadi penduduk Indonesia.
Hal ini
diungkapkan Ikandas
Murkim, kepala kampung Muara Asbi Distrik Murkim kepada suarapapua.com, selasa (26/9/2017) lalu di Oksibil, Papua.
Ia
menjelaskan, sejak
kampung Muara Asbi dimekarkan pada tahun 2009 dari kampung Murkim, dan distrik
Murkim dimekarkan dari distrik Batom Pegunungan Bintang, pada 2008, warga Papua New Gunea
(PNG) mulai berdatangan dan menjadi penduduk tetap di kampung Muara Asbi.
“Ada banyak
yang datang. Ada yang datang menetap, ada juga yang datang hanya untuk
beraktifitas lalu kembali ke PNG,”
ujarnya.
“Pada tahun 1999/2000-an saya mulai kontak dengan warga Papua
New Gunea. Sebenarnya warga sepanjang sungai sifik, satu suku besar, dulu
memang suda mulai komunikasi. Tetapi semenjak perang suku meletus, suku besar Murkim
terbelah, ada yang hidup dan menetap di PNG. Ada yang masi bertahan hidup di
wilayah suku besar Murkim,” jelasnya.
Ikandar menceritakan, pada waktu itu sekitar tahun 2007 ia komunikasi dengan masyarakat
kampung Kasai, Distrik Greentowa, Kabupaten Vanimo, Sandaown Province, Papua
New Gunea, terutama kepala kampung bersangkutan.
“Setelah berkomunikasi dengan
kepala kampung, ia menyetujui 1000 warganya pinda warga Negara dari PNG menjadi
Warga Negara Indonesia,” jelasnya.
Kata dia, Masyarakat di kampung Kasai,
Distrik Grentowa berpenduduk 3 ribu saat ini.
“Penduduk sangat banyak sehingga pada
tahun 2007 saya mulai dialog, komunikasi secara terus menerus dengan kepala
kampung serta pemerintah Distrik Greentowa, akhirnya mereka menyetujui 1000 warganya
pindah ke Indonesia,” ucap Ikandar.
Terkait pemindahan warga PNG ke
Indonesia, kata dia,
tidak ada yang dipaksakan atau unsur Paksaan dari pemerintah Indonesia, tetapi
warga bergabung dengan Indonesia benar benar niat baik dari warga Kampung
Kasai.
“Jadi pada saat votting atau tanya jawab
terkait kesediaan warganya ikut menjadi warga Indonesia, warga sekitar 1000 an
mengaku akan bergabung menjadi Warga Indonesia, sehingga pemerintah kampung Kasai
mengiayahkan untuk pindah warga Negara, yaitu Indonesia” katanya.
Pada tahun 2009, Pemerintah Distrik Greentowa
mengeluarkan surat pemberitahuan yang isinya menjelaskan bahwa warga masyarakat
Indonesia yang ada di distrik Murkim, Pegunungan Bintang bisa berdagang di
wilayah pemerintahannya.
“Bisa keluar masuk wilayah PNG
dan sebaliknya warga PNG yang bermukim di Distrik Greentawa bisa berdagang di
wilayah Indonesia,” urainya.
Warga PNG Bisa Bergabung Menjadi Warga Indonesia?
Ikandar mengungkapkan bahwa sejak awal tahun 1999 ia mulai kontak dengan Warga kampung
Kasai, Districk Greentawa.
“Pada waktu itu, saya bersama
Om, kita berburu di Hutan belantara. Ketika saya mendengar ada suara di Muara Asbe,
sungai Sifik, setelah saya pergi mengecek ke lokasi ternyata ada orang sedang
memburu Buaya,” ungkapnya lagi.
Lanjut dia, “Dari muara sungai Sifik kami
mulai berkenalan mengenal satu sama lain. Waktu itu, kami hanya berkomunikasi
dengan bahasa syarat. Mereka mengajak saya pergi ke kampung Kasai untuk
bermalam sambil makan daging buaya di kampung mereka,” katanya saat bercerita tentang perjuangannya menarik
simpati warga PNG bergabung menjadi warga Kampung Muara Asbe, Distrik Murkim,
Pegunungan Bintang, Indonesia.
Menurut Murkim, setelah bermalam
selama sehari di kampung itu, dirinya kembali ke kampung Murkim. Beberapa hari kemudian, warga dari
kampung Kasai berkunjung ke Indoensia.
“Selama mereka berkunjung
ataupun saya pergi mengunjungi mereka, saya selalu membawa Garam, Peksin,
Bimoli maupun Beras untuk warga Kampung Kasai, PNG. Saya mulai memperkenalkan mereka dengan Sembako secara
perlahan lahan, seperti membagikan Garam, Peksin, Bimoli, Supermi, beras secara
gratis,” ucap
Iskandar.
Ia mengatakan, menurut Kepala Kampung Kasai,
Distrik Greentawa, Vanimo, Markus Sigbah, biasa menceritakan pengalaman
hidupnya pada dirinya ketika pergi ke kampung Kasai.
“Ceritanya, kami warga PNG yang
berada di Perbatasan Indonesia hidup menderita, tidak ada perhatian secara
serius oleh pemerintah setempat. Baik itu layanan pendidikan, kesehatan,
ekonomi, pembangunan Infrastruktur. Benar benar tidak ada pelayanan
pemerintahan di wilayah yang dia pimpin, untuk itu warga masyarakat PNG yang
ingin menjadi warga Indonesia pantas dan wajar, sembari menceritakan pengalaman
yang diderita warga PNG di Perbatasan RI ini,” katanya mengulang kembali pendapat
kepala kampung dari Greentawa, PNG.
“Tidak hanya 1000-an warga, tetapi direncakan akan
menambah 500 jiwa yang akan bergabung menjadi Warga Negara Indonesia. Mereka
ingin bergabung dengan Indonesia tetapi harus kampung sendiri, mereka minta
pemekaran kampung di sana,” katanya.
Pewarta: Fransiskus
Kasipmabin
Editor: Arnold Belau
Soleman Itlay, aktivis PMKRI Jayapura. (Arnold Belau - SP) |
Catatan Kaki Untuk 5 Bulan Terakhir
Oleh: Soleman
Itlay)*
Orang Papua Barat memiliki masalah yang besar
Mau sebut satu per satu, bikin membosankan dan tidak akan
ada ujungnya. Pokoknya masalah itu menyangkut kandungan ibu, bayi, anak,
remaja, dewasa dan lanjut usia. Orang Papua Barat tidak pernah absen dengan
kematian. Disini banyak “Kematian Misterius”.
Tidak ada patokan kematian di Papua Barat. Dalam artian
lain, tidak semata-mata terjadi pada satu orang, keluarga, honai adat, suku,
kampung, wilayah, agama, gereja, dan daerah tertentu. Tetapi setiap basis orang
Papua Barat, dari Sorong-Merauke mengalami peristiwa yang hampir sama.
Kematian telah menyatu dengan 250 suku, orang asli Papua
Barat. Beberapa suku lain, dari luar Papua Barat (non Papua Barat), juga sering
mengalami hal yang sama. Namun kematian lebih banyak jatuh pada orang pribumi
Papua Barat. Kematian yang dimaksud, sampai detik ini masih berlaku.
Dimana ada orang Papua Barat, disitu ada kabar buruk. Kematain
hari ini berada di rumah, honai adat, rumah sakit, kantor, jalan, kali, telaga,
sungai, gereja, kampung, dan hutan. Kematian
orang Papua Barat terlihat di rumah sakit, jalan, gunung, pantai, dataran,
rawah, seberang sungai, danau, hutan, kolong jembatan dlsb.
Memang benar adanya. Kenyataan tidak dapat disembunyikan
oleh kata-kata mati lagi. Hari ini, orang Papua Barat tidak punya tawaran dan
pilihan lain. Mereka ada bersama kematian. Bakal kematian jadi tawarann awal
dan pilihan akhir. Murah tapi juga kematian mudah menelan nyawa orang-orang
miskin di negeri kaya raya.
Tidak ada jalan keselamatan. Segala akar kehidupan orang
kulit hitam diputuskan, dikeringkan, dibakar, dan dilenyapkan pada liang
kematian. Segala jalan keselamatan orang berambut keriting dibatasi,
disembunyikan, dihilangkan, dihapuskan dan lain sebagainya. Kini sumber
kehidupan orang Papua Barat sengaja dihancurkan.
Struktur dan Sistem Kematian di Papua
Barat
Orang Papua Barat mempunyai struktur dan sistem kematian.
Ada yang tidak kelihatan dan kelihatan sekali. Struktur dan sistem kematian ini
tidak diketahui oleh orang Papua Barat. Hanya orang yang pakai kaca mata
kebijaksanaan lah yang melihatnya. Hal ini dibuat, dijalankan dan dikotrol oleh
orang diatas berpakaian dua mcam warna.
Bagian atasnya merah dan bawahnya putih. Kadang kala orang
sulit melihat orang yang menjalankan itu telanjang. Karena mereka tidak tinggal
santai kerena punya struktur dan sistem kematian. Namun orang yang menggunakan
pakaian kain merah dan putih itu, main dengan terukstruktur dan sistematis.
Orang Papua Barat kaget ketika ada kecelakaan di jalan, kematian
di rumah sakit, warung, hotel, restoran, depan ruko, kolong jembatan, hutan,
pegunungan, kali, sungai, danau dan lautan.
Namun semua orang tidak tahu struktur dan sistem kematian yang berlaku dan dijalankan
secara terukstruktur dan sistemtis.
Rentetan Kematian 6 Bulan Terakhir
Belakangan ini, istilah “Kematian Misterius” di Papua Barat
naik daun. Hal ini bukan seperti orang lain yang “tukang” memutarbalikan fakta.
Namun istilah ini tumbuh dan berkembang dari masalah kematian orang Papua Barat
sepanjang waktu. Kematian berlaku umum bagi orang Papua Barat diatas tanah
leluhurnya.
Ada catatan kaki disini. Semua berasal dari tanah Papua
Barat, dari Sorong-Merauke. Pada umumnya kematian orang Papua Barat memiliki
motif yang hampir sama. Rata-rata peristiwa semua belum menemukan virus bakteri
kematiannya. Berangkat dari situ, orang Papua Barat menyebut “Kematian
Misterius”.
Belakangan ini orang Papua Barat dikagetkan dengan beragam
kematian. Banyak yang belum diangkat dan diurus oleh semua pihak terkait. Namun
itu tidak mengapa bagi orang Papua Barat. Barangkali disini cukup
memberitahukan bagi yang belum tahu. Kasus kematian misterius dimaksud, antara
lain:
1.
Kematian
37 Orang di Lanny Jaya
Pada April lalu, media terpercaya di
Papua, yaitu Jubi mewartakan 37 warga yang meninggal di Lanny Jaya.
Kematian
ini berlangsung dari Januari hingga 25 April 2017. Tempat kejadian ada 4
kampung, yakni; kampung
Tinggira (18 orang), Indawa (3 orang), Eyuni (13 orang)
dan Yuhunia (4 orang).
Kepada media tersebut, Sekretaris
Daerah(Sekda) kabupaten Lanny Jaya, Christian Sohilait mengatakan: Hari
ini
(Rabu) juga saya berada di lokasi kampung Tinggira untuk melihat langsung
kondisi air minum dan
penyebab sampai banyak yang meninggal. Dan ternyata air
disini merupakan hasil tadah hujan beberapa waktu
lalu yang dikonsumsi warga
tanpa dimasak, padahal itu ada kotoran babi dan kotoran manusia”.
Kejadiannya sudah lama (Januari 2017),
namun beritanya dipublikasi pada April 2017. Penyebab peristiwa ini
disebut-sebut karena kekurangan air bersih. Belum ada penemuan indikasi virus
penyebab kematian yang
menyebabkan 37 orang meninggal dunia. Tentu kasus ini
bisa disebut “Kematian Misterius”. Sebab belum ada
temuan virus
bakterinya.
2.
Kematian
50 Balita Menggal di Deiyai
Gereja Katolik Dekenat Paniai, Keuskupan
Timika mengumumkan, kematian orang Mee dalam kurun waktu April hingga 15 Juli
2017. Kematian Balita ini terjadi di kampung Ayatei, Digikotu, Piyakedemi,
Yinudoba, dan Epani. Informasi ini disampaikan oleh Pastor Paroki, Deiyai,
Damianus Adi, Pr.
Menurut Dinas Kesehatan Kabupaten
Deiyai, terutama petugas medis meyebut gejalah penyakitnya antara lain ISPA,
campak, diare dan disentri. Namun menurut Pastor, setelah melakukan pendataan
ulang kepada keluarga pasien berbeda. Pastor Adii sebut gejalannya: panas
tinggi, mencret (diare), mulut luka-luka, mata merah dan ada yang meninggal
tibah-tibah.
Ada yang sebut gejalanya lain dan Pastor
menyebut lain tapi ada yang sama. Jumlahnya pun sama. Kepala distrik Tigi
Barat, Fransiskus Bobii sebut 30 orang dan Pastor Paroki sebut 50 orang. Hal
ini semcam ada struktur dan sistem kematian yang tidak keliahan, kemudian
menimbul pro dan kontra diantara pihak gereja dan pemerintah.
3.
Kematian
dan Penderita HIV/AIDS di Wamena
Rumah
Sakit Umum Daerah (RSUD) Wamena menyebut tingkat kematian ibu hamil dan bayi
yang lahir terus mengalami peningkatan. Dimana pada 2015 dari 1.888 orang, 7
lainnya meninggal dunia. Kemudian berikutnya 2016 tercatat sebanyak 2.009 yang
melakukan persalinan, 6 orang ibu hamil diantaranya meninggal dunia. Mana yang
benar?
Direktur
RSUD Wamena, dr. Felly G. Sahureka mengatakan, untuk bayi yang baru dilahirkan
dari tahun 2016, dari total 2.009 bayi hanya 293 bayi yang hidup. Jika dihitung
secara matematis 2.009-293 berarti hasilnya didapat sebanyak 1716 orang. Jadi
boleh dikatakan dari 2.009 yang dilahirkan 2016, yang meninggal sebanyak 1716
orang.
Demikian
kata dokter Felly, “Sedangkan untuk bayi
yang baru dilahirkan dari tahun 2016 lalu, dari total 2.009, hanya 293 bayi
yang hidup”, dikutib dari www.tabloidjubi.com,
(16/06/2017). Bayangkan dalam setahun kematian Ibu dan Anak mencapai ribuan
orang. Jumlah tersebut belum termasuk dengan tahun-tahun sebelumnya. Bahkan
tidak termasuk dengan kasus lain.
Sungguh,
sangat berbahaya. Dari sisi penyebaran HIV/AIDS saja, Jayawijaya berada pada
urutan pertama di seluruh Papua. Per Juni 2016 lalu, Dinas Kesehatan provinsi
Papua mecatat penderita HIV/AIDS sebanyak 5.293 kasus. Menakjubkan bukan? Parah
lagi kalau dikaitkan dengan kasus kematian 264 orang di distrik Itlay Hisage
(2005-2014).
4.
Kematian
48 Orang di Yahukimo
Kepala
Dinas Provinsi Papua, Aloysius Giyai membenarkan kematian warga di Samenage,
kabupaten Yahukimo. Hanya yang bedanya disini adalah banyaknya korban. Menurut
Giyai, korbannya sekitar 38 orang. Warga yang meninggal dunia berasal dari 8
kampung dan dengan jumlah korbannya berbeda-beda.
Jumlah
kematian ini jauh sedikit dari banyaknya korban yang disebutkan oleh pastor
Jhon Jonga, Pr. Sebelumnya, Pastor Jhon menyebut ada 48 orang. Lalu 10 orang
lainnya diapakan? Bagi Pastor Jhon selaku hambah Tuhan tidak mungkin tipu,
karena dia juga sangat akrab dengan masyarakat Samenage, Papua.
Begitu
pula dengan dinas kesehatan kabupaten Yahukimo dan provinsi Papua. Dinas
kesehatan sebut 38 orang yang meninggal. Pernyataan tersebut ada betulnya, dan
ada pula tidaknya. Yang jelas pemerintah punya garis komando dan koordinasi
dengan dinas kesehatan kabupaten Yahukimo. Kemungkinan besar tidak bisa
disalahkan.
Palingan
pihak gereja maupun pemerintah sama-sama punya data yang kuat. Tetapi kematian
di daerah telah terjadi lama. Hanya saja publik belum tahu persis. Tentu hal
ini memerlukan koordinasi kerja sama dan memerlukan sinkronisasi kerja, agar
kelak membinggunkan semua orang. Tetapi lebih penting ialah memastikan virus
bakterinya, bukan bantuan bahan makanan. Sungguh peristiwa ini juga termasuk
“kematian Misterius”.
5.
Kematian
27 Bayi dan Anak di Kabupaten Nduga
Ada kejadian baru lagi di distrik
Iniknggal kabupaten Nduga. Tempat kejadian ini bersebelahan dengan wilayah Mbua,
tempat dimana 2014/2015 terjadi Kejadian Luar Biasa (KLB). Dalam peristiwa ini,
dilaporkan 27 orang bayi, balita dan anak meninggal dunia. Sementara kematian
misterius ini dikabarkan pada 26 september 2017 oleh masyarakat.
Laporan ini dimuat di media sosial
(facebook). Pemostingnya merupakan anggota masyarakat dengan latar belakang
mahasiswa Nduga. Nama akun facebooknya adalah Gwijangge. Postingan itu cukup
kuat karena disertai dengan kronologis singkat dan nama-nama orang tua dan korbannya. Beberapa
jam berselang, pemeberitaan tersebut semakin diketahui oleh publik.
Karena semua orang yang berteman dengan
Gwijangge like dan bahkan membagikan kiriman dimaksud. Tidak lama kemudian, pimpinan
Suara Papua, Arnol Belau menurunkan beritan kematian 27 orang di Iniknggal kabupaten
Nduga. Suara Papua sudah melakukan wawancara langsung dengan masyarakat yang
turun dari Nduga ke Wamena yang melakukan pembelanjaan barang untuk keperluan
di tempat duka.
Pihak Dinas Kesehatan Kabupaten Nduga melalui
Puskesmas detempat belum bisa memberikan keterangan. Namun ketika informasi
tersebut pecah di media masa, Kepala Sub Bagian (Kasubag) Program Dinas
Kesehatan provinsi Papua, Aaron Rumainum, mengatakan akan check petugas
kesehatan di lapangan. Hal ini dokter Aaron menghubungi penulis melalui telepon
seluller, (27/09).
Usulan
Penanganan Medis
Kasus kematian
misterius diatas, tidak asing bagi orang Papua Barat. Bukan 5 kasus diatas
semata, terlalu banyak. Sebelumnya pun terjadi hal yang sama. Bakal sampai hari
ini masih terus berlanjut tanpa henti-hentinya. Namun kalau disatukal di dalam
ini, tidak aka nada habisnya. Tetapi itu tidak penting untuk membahas disini,
karena akan jadi seperti orang jalan di tempat tanpa perintah. Namun yang perlu
dipikirkan disini adalah, soal penanganan medis.
Secara pribadi punya
dua pemikiran sederhana, antara lain: tidak ragu dan ragu. Tidak ragu karena
persoalan diatas akan diselesaikan, jika ada pihak berwajib mau serius
menangani. Karena bicara tentang kasus pihak seperti dinas kesehatan punya
rekam jejak penanganan medis suatu kasus di Papua. Bakal ada banyak bukti yang
berhasil.
Namun di lain sisi,
secara pribadi juga agak pesimis. Karena banyak kasus yang timbul dengan motif
yang sama. Paling sering dan memang sebelumnya terdengar banyak peristiwa
serupa yang timbul di daerah lain, Papua.
Sebut saja, misalnya KLB Mbua (Nduga), musibah kematian di Itlay Hisage
(Jayawijaya) dan masih banyak lagi.
Berdasarkan dua
pengalaman ini, ada usulan sederhana untuk semua pihak (pemerintah)
masing-masing daerah. Ungkap sampai tuntas, penyebab kematian misterius dari 5
kasus ini. Jika tidak keberatan, menoleh ke kasus-kasus sebelumnya yang belum
terungkap. Dari semua rentetan kematian misterius di Papua Barat, motifnya
hampir sama semua. Namun sebutan untuk penyebabnya sering berbeda-beda.
Sehingga, mau tidak mau
dan suka tidak suka, harus mengungkap virus kematian misterius, Maaf sekali.
Bukannya memaksakan, tetapi ini suatu tuntutan yang harus, wajib dan segera
dilakukan oleh pemerintah Indonesia melalui pemerintah daerah yang telah
dibentuk di masing-masing kabupaten/kota, provinsi Papua. Sebenarnya tidak
sesusah dan sesulit apapun di era Otonomi Khusus ini.
Berikut harus memperhatikan
kesehatan masyarakat, orang Papua Barat yang tengah diijak-injak oleh beragam
penyakit misterius. Karena selain kematian berlangsung, hari ini penderitaan
orang Papua Barat terus meningkat pesat. Semua pelayanan harus mengutamakan
keselamatan manusia yang sakit, bukan memanfaatkan sakit untuk keselamatan dan
kepentingan pribadi.
Kerja harus dengan
sadar. Selamatkan orang dengan pertimbangan “Orang Papua Barat di Ujung
Kepunahan”. Hal ini wajib dipahami dan terapkan dalam tindakan pelayanan. Kalau
bisa sistem pelayanan kesehatan di Papua Barat harus dikontekskan sesuai metode
pelayanan tradisional dan ditransformasikan dengan cara pengobatan modern. Semoga!
)* Penulis adalah anggota
aktif Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) St. Efrem
Jayapura, Papua.
Anggota DPR Papua, Nioluen Kotouki (IST) |
JAYAPURA, SUARAPAPUA.com--- Nioluen Kotouki, Wakil Ketua Komisi V DPRP Papua berharap kepada mahasiswa Yahukimo dan Papua pada umunya untuk menyiapkan diri menghadapi perkembangan jaman yang semakin berkembang, terutama orang Papua dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean (MEA).
“Mahasiswa sekarang harus belajar banyak untuk bisa bersaing kedepan menghadapi MEA. Kalian adalah generasi Papua kedepan, sehingga jangan menyia-nyiakan waktu ini – pergunakan waktu baik untuk belajar,” kata Kotouki dalam seminar pemilihan pengurus mahasiswa Angguruk, Pronggoli, Panggema dan Kosarek (Ampropakos) di aula Asrama Liborang Padangbulan, Jumat (29/9/2017).
Selain itu, ia minta mahasiswa untuk aktif melibatkan diri dalam organisasi-organisasi yang ada, baik itu organisasi tingkat kabupaten, distrik maupun organisasi yang ada di bawah naungan gereja.
“Karena imajinasi kita itu akan berkembang ketika kita melakukan banyak kegiatan dan disitu banyak pengetahuan yang akan kita peroleh. 85 persen ada di organisasi, jadi harus melibatkan diri dan harus punya komitmen serta visi jelas,” tuturnya.
Selain itu, Nathan Pahabol, Anggota Komisi V DPRP mengatakan, ANPORPAKOS ini adalah organisasi pangkaderan dan persatuan yang didalamnya ada tri-panggilana gereja, yaitu bersaksi, bersekutu dan melayani yang mempersiapakn diri untuk Papua kedepan, sehingga mahasiswa harus mempersiapkan diri dengan baik.
“Organisasi ini dibentuk tahun 1993 dan ia termasuk tertua di kota Jayapura, sehingga mahasiswa dalam organisasi untuk terus melibatkan diri dan banyak belajar demi masa depan Papua,” kata Pahabol usai membuka seminar yang akan dilangsungkan dua hari, Jumat dan Sabtu (29-30/9/2017).
Selain itu, Nathan selaku senior yang perna memimpin ANPROPAKOS berpesan supaya pemilihan pengurus yang akan dilakukan pada, Sabtu (30/9/2017) benar-benar memilih pemimpin yang takut akan Tuhan.
Pewarta: Elisa Sekenyap
Editor: Arnold Belau
Tim dari Polda Papua ambil sampel darah pada KLB Mbua. (IST) |
JAYAPURA,
SUARAPAPUA.com--- Kejadian Luar Biasa (KLB) kembali terjadi di Kab. Nduga,
Papua. Dikabarkan 27 balita telah meninggal sejak Agustus hingga September
2017.
Jackson Gwijangge,
salah satu mahasiswa dari Nduga kepada suarapapua.com melaporkan, telah terjadi
kembali Kematian Misterius Bayi dibawah umur Sekitar 27 lebih anak yang telah
meninggal dunia di Distrik Iniknggal Kabupaten Nduga, Papua.
"Kematian tersebut
terjadi sejak awal bulan Agustus lalu sampai dengan saat ini terus terjadi
kematian bayi secara misterus. Sampai saat ini tidak ada tenaga medis di
distrik Iniknggal untuk menangani kejadian luar biasa itu," ungkap
Gwijangge, Selasa (27/9/2017).
Jackson menjelaskan,
informasi adanya KLB tersebut didapat dari beberapa siswa Sekolah Menengah
Teologia Kristen (SMTK) yang turun ke Wamena dari Nduga untuk membeli beras.
"Informasi KLB
ini belum ada yang tahu. Pemkab. Nduga juga belum tahu. Karena sampai saat ini
tidak ada petugas di lapangan untuk mengatasi dan mencari solusi atas KLB yang
teradi. Informasi bahwa telah terjadi KLB diketahui dari siswa SMTK yang ke
Wamena. Mereka akan ke Nduga lewat jalan darat lagi" jelas Gwiangge
bercerita.
Beberapa siswa SMTK
itu, kata Gwijangge, akan kembali ke Nduga ewat jalur darat dengan menggunakan
satu buah mobil jenis Strada ke Yebadolma dan jalan kaki menuju ke Wuma.
"Mereka akan
bawa beras. Beras itu untuk membantu keluarga korban yang anggota keluarganya
meninggal dunia di distrik Iniknggal," ungkap Gwijangge.
Dikatakan, bantuan
medis masih sangat dibutuhkan saat ini untuk membantu keluarga korban. Kata
Gwijangge, data jumlah balita yang meninggal yang ia peroleh adalah data yang
diketahui.
"Tidak menutupi
kemungkinan masih bisa bertambah. Ada dua keluarga yang masing-masing tiga
orang meninggal. Ada satu keluarga yang dua orang meninggal. Dan puluhan
lainnya satu orang. Sampai saat ini ada 27 orang yang meninggal,"
ungkapnya lagi.
Gwijangge berharap
agar ada tindakan cepat yang diambil dari pihak pemkab. Nduga maupun dinas
kesehatan Provinsi Papua untuk melihat memberikan bantuan medis segera. Selain
itu diharapkan juga untuk mencari tahu penyebab kematian balita yang teradi
sejak Asgustus di distrik Iniknggal.
Pewarta: Arnold Belau
FOPERA saat dmeo di Yahukimo. (Ardi Bayage - SP) |
YAHUKIMO, SUARAPAPUA.com --- Forum Pembela Rakyat (FOPERA) Kab. Yahukimo, Papua menggelar aksi di depan Ruko, Dekai, Papua. Demo tersebut dilakukan, Jumat (22/9/2017) pekan kemarin untuk menyikapi penyakit sosial yang kehadirannya mengkwatirkan masyarakat setempat.
Napy Pahabol penanggung jawab aksi tersebut mengatakanFOPERA Yahukimo ada karena berbagai masalah yang terjadi di Yahkimo seperti Miras, Seks Bebas, Togel yang meraja lela, penyebaran HIV/AIDS dan Angka kematian manusia yang tinggi.
"Aksi kami resmi didukung oleg Persatuan Gereja Gereja Yahukimo dan semua kepala suku. Kami bicara untuk masyarakat dan generasi muda Yahukimo tanpa sudutkan siapa pun," katanya.
Soal angka kematian yang tinggi, kata dia, setiap hari dari pagi, siang, sore, hingga malam pun Ambulance keluar dari rumah sakit. Masyarkat yang masuk dengan harapan sembu, mala keluar dengan Mayat. Ia mengaku, pihaknya sudah kantongi data yang falid tentang angka kematian yang dimaksud.
"Data dari dinas kesehatan Provinsi Papua, mengenai angka kematian yang paling tinggi adalah kabupaten Yahukimo, belum lagi dengan 3 ratus orang lebih yang suda kena penyakit HIV AIDS,” ini penyebabnya adalah Seks Bebas dan Peredaran minuman keras secara bebas, ungkapnya.
Lanjut dia, “Kondisi ini harus disikapi segera oleh semua pihak. Kalau tidak, kami bisa habis," katanya prihatin.
Gresgi M Giban mengatakan, masyarakat meminta pemerintah membuat regulasi yang jelas tentang penyakit sosial yang ada. Menurutnya, sebaiknya oknum-oknum tidak bertanggungjawab harus dipulangkan dari Yahukimo.
"Seperti penjual togel, penjual miras, prostitusi terselubung dan lainnya harus diberhentikan dan pulangkan pelakunya bila perlu," tegas Giban.
Jhonni MS dalam orasinya di depan IGD RSUD Yahukimo mengatakan pihaknya mendatangi rumah sakit untuk mempertanyakan penyebab setiap pasien yang masuk ke RSUD kebanyak tidak selamat.
“Kami Tau ini bukan tempat sasaran kami, namun sebelum kami ke pemerintah forum ini harus mendapatkan penjelasan dari pihak rumah sakit. Kami ingin tahu kenapa banyak orang Yahukimo mati dan sulit diselamatkan dari RS,” katanya saat orasi.
Menanggapi hal tersbeut, Aser Sobolim, Sekretaris Direktur RSUD Yahukimo saat menerimah kehadiram massa mengaku pihaknya memberikan apresiasi yang tinggi.
"Karena kalianla yang peduli dengan kesehatan, namun yang perlu kami garis bawahi adalah, apa pasien masuk setelah dapat sakit atau sebelum. Kalo Pasiennya masuk dalam keadaan sakit, kami sudah menolong dengan cara pelayanan kami dan bila ada yang meninggal, itu berarti memang sudah waktuny," jelasnya.
Ia mengatakan, setiap orang yang masuk ke dunia kesehatan, sudah diambil sumpah dan janji sesuai agama dan kepercayaannya masing masing.
“jadi masalah bunuh sengaja, saya sebagai sekretaris tidak tau sama sekali, namun pada kesempatan ini ibu rahel sebagai direktur tidak hadir maka, aspirasi ini akan saya sampaikan,” terangnya.
Dalam aksi tersebut FOPERA mendesak; Pertama, pemerintah bersama semua stakeholder keamanan agar pulangkan orang yang melakukan praktek protistusi dikabupaten Yahukimo. Kedua, pemerintah Yahukimo agar menangkap agen minuman keras dikota Dekai. ketiga, Pemerintah bersama lembaga DPRD segara memperbaiki kembali Ruma Sakit Umum Kabupaten Yahukimo. Keempat, pemerintah dan DPR juga harus membuat Perda Penyebaran HIV dan AIDS.
Pewarta: Ardi Bayage
Editor: Arnold Belau
Editor: Arnold Belau
PAPUAN, Jayapura --- Banyak pihak di Papua menyesalkan komentar Habib Rizieq dan Munarman dari Forum Umat Muslim (FUI) yang dianggap memprovokasi, dan menyesatkan opini masyarakat, terutama bagi yang berada di tanah Papua.
“Kami organisasi kepemudaan umat Kristiani di tanah Papua sangat menyesalkan pernyataan Habib Rizieq dan Munarman,” ujar Terius Wenda, Ketua Forum Gerekan Baptis Papua melalui siaran pers yang dikirim ke Papua Voices, kemarin sore, Rabu (28/12).
Menurut Turius, penanganan konflik disuatu daerah harus bisa diselesaikan oleh negara, bukan oleh organisasi kemasyarakatan, atau lembaga agama tertentu.
“Tak ada satupun LSM, atau organisasi masyarakat yang dapat mengintervensi masalah Papua, terutama dalam bentuk dan format penyelesaiaanya,” jelas Turius.
Turius menambahkan, harusnya mereka (FUI) mengerti dan memahami akar persoalan di tanah Papua, dan jika dirasa sudah tahu banyak, maka dipersilakan untuk berkomentar.
“Jangan omong sembarangan, karena pernyataan begini bisa berakibat fatal atau mengarah pada konflik SARA atau Konflik agama.”
Menurut Turius, masalah Papua sesungguhnya bukan masalah makan–minum, akar masalah adalah masalah ideology dan sejarah integrasi yang penuh kotrovesial.
“Pernyataan berjihat di Papua yang disampaikan FUI adalah satu pukulan berat dan pernyataan yang sangat diskriminatif bagi kaum beragama minoritas terutama umat Kistiani di tanah Papua,” ungkap Turius.
Turius juga menyatakan orang Papua menghendaki pendekatakan dialog yang bermartabat dan kompherensif.
“Kami menolak pendekatan jihatan dan kekerasan militerisme di seluruh tanah Papua.”
Kami juga menghimbau kepada semua umat beragama jangan mudah terporvokasi isu SARA dan jihat di Papua, dan di harapkan untuk menciptakan rasa damai dan keamanan setiap dimanapun kita berada.
Komentar yang dimaksud adalah, pada tanggal 23 Desember 2011, FUI sempat mendatangi Kantor Kementerian Pertahanan, dan meminta pemerintah Indonesia bersungguh-sungguh kerja mempertahakan Papua dalam NKRI.
Dan, kata mereka saat itu, jika pemerintah tak mampu, mereka akan datang dan berjihad ke tanah Papua sendiri.
OKTOVIANUS POGAU
SELENGKAPNYA
“Kami organisasi kepemudaan umat Kristiani di tanah Papua sangat menyesalkan pernyataan Habib Rizieq dan Munarman,” ujar Terius Wenda, Ketua Forum Gerekan Baptis Papua melalui siaran pers yang dikirim ke Papua Voices, kemarin sore, Rabu (28/12).
Menurut Turius, penanganan konflik disuatu daerah harus bisa diselesaikan oleh negara, bukan oleh organisasi kemasyarakatan, atau lembaga agama tertentu.
“Tak ada satupun LSM, atau organisasi masyarakat yang dapat mengintervensi masalah Papua, terutama dalam bentuk dan format penyelesaiaanya,” jelas Turius.
Turius menambahkan, harusnya mereka (FUI) mengerti dan memahami akar persoalan di tanah Papua, dan jika dirasa sudah tahu banyak, maka dipersilakan untuk berkomentar.
“Jangan omong sembarangan, karena pernyataan begini bisa berakibat fatal atau mengarah pada konflik SARA atau Konflik agama.”
Menurut Turius, masalah Papua sesungguhnya bukan masalah makan–minum, akar masalah adalah masalah ideology dan sejarah integrasi yang penuh kotrovesial.
“Pernyataan berjihat di Papua yang disampaikan FUI adalah satu pukulan berat dan pernyataan yang sangat diskriminatif bagi kaum beragama minoritas terutama umat Kistiani di tanah Papua,” ungkap Turius.
Turius juga menyatakan orang Papua menghendaki pendekatakan dialog yang bermartabat dan kompherensif.
“Kami menolak pendekatan jihatan dan kekerasan militerisme di seluruh tanah Papua.”
Kami juga menghimbau kepada semua umat beragama jangan mudah terporvokasi isu SARA dan jihat di Papua, dan di harapkan untuk menciptakan rasa damai dan keamanan setiap dimanapun kita berada.
Komentar yang dimaksud adalah, pada tanggal 23 Desember 2011, FUI sempat mendatangi Kantor Kementerian Pertahanan, dan meminta pemerintah Indonesia bersungguh-sungguh kerja mempertahakan Papua dalam NKRI.
Dan, kata mereka saat itu, jika pemerintah tak mampu, mereka akan datang dan berjihad ke tanah Papua sendiri.
OKTOVIANUS POGAU
Warga Papua disiksa TNI (Foto: Ist) |
Kemudian, tepat di halaman tampak berkibar sebuah bendera Bintang Kejora. Tak ada korban nyawa dalam insiden ini, karena pada saat itu tak ada petugas Polisi yang siaga.
Keesokan pagi, puluhan aparat dari Polres Serui mendatangi beberapa rumah warga sipil. Ada sembilan orang yang ditangkap, salah satunya adalah kepala kampung Tatui.
Dilaporkan, mereka disiksa secara hebat oleh puluhan anggota Polisi. Dan diminta mengaku karena dituduh terlibat dalam aksi pembakaran tersebut.
“Mereka diduga ikut membakar pos Polisi, dan terlibat mengibarkan bendera bintang kejora,” jelas Selia Waromi, salah satu warga sipil di Kabupaten Serui kepada Papuan Voices, siang ini, Jumat (30/12).
Selia mengatakan, sembilan orang tersebut tidak terlibat dalam aksi pembakaran Pos Polisi dan pengibaran bendera bintang kejora, tetapi mereka justru ikut memadamkan kobaran api.
“Saat pos Polisi terbakar, sembilan orang ini, bersama warga kampung yang padamkan api. Jadi, jika mengatakan mereka pelakuknya, adalah tidak mungkin.”
Selia menyebut kesembilan orang tersebut adalah, Marten Worabai, Wellem Ataruri (Kepala Kampung), Lorens Yapanani (Ketua Bamuskam), Yonatan Wanenda, Agus, Manuel Wanenda, Frengki Aroma, Lukas Koroa, dan Yohanis Isege.
Kepala kampung Tatui dan Marten Worabai yang disiksa paling brutal dari yang lain. Mereka mengalami luka dan pendarahan hebat.
“Mereka dua sempat dilarikan ke RSUD Serui untuk mendapatkan perawatan,” ujar Selia.
Menurut Selia, dari kesaksian Marten Worabai, saat peristiwa tersebut, dirinya sedang tidur di rumahnya bersama Istri dan anak-anaknya.
Dia baru mengetahui peristiwa kebakaran setelah ada teriakan anak-anak yang memberitahukan kalau ada pos Polisi yang terbakar.
“Saya langsung keluar dan cek kebenarannya, dan saya sama-sama warga disini ikut memadamkan api. Jadi, saya tidak ada di tempat kejadiaan saat pos Polisi mau dibakar,” ucap Marten seperti ditirukan Selia.
Lanjut Selia, setelah memadamkan api merekapun pulang kerumah masing-masing, namun pada pukul 02.30 WIT, Marten Worabai diambil secara paksa oleh anggota Polisi dari rumahnya.
“Tanpa keterangan, Marten Worabai dihajar sampai babak belur bersama dengan kepala kampung yang sedang berseragam Dinas, beserta tujuh orang lainnya di pos Polisi lain.”
Akibat penganiayaan tersebut, kepala Marten mendapat lima jahitan. Kepala kampung harus dirawat inap di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Serui selama 1 malam.
Pada pagi harinya, dilaporkan Kapolres Serui memerintahkan anak buahnya untuk menyisir seluruh kampung Tatui dan beberapa kampung lainnya. Tujuannya mencari siapa pelaku yang membakar pos Polisi tersebut.
Sampai saat ini situasi Kampung Tatui, Distrik Kosiwa, Kabupaten Serui masih mencekam. Warga tidak melakukan aktivitas seperti biasanya.
Kabid Humas Polda Papua, Kombes Wachono, ketika dikonfirmasi Papuan Vocies tidak bersedia memberikan keterangan karena belum mendapat laporan lengkap.
OKTOVIANUS POGAU
Misael Maisini, Ketua Komisi. |
“Sudah jelas-jelas tanpa surat ijin atau surat resmi dari pemerintah daerah, kenapa harus dijinkan beroperasi lagi,” ungkap Misael kepada Papuan Voices, siang tadi, Kamis (29/12) di Nabire, Papua.
Menurut Misael, pada tanggal 26 Mei 2011 Gubenur Provinsi Papua pernah mengeluarkan sebuah surat perintah, intinya agar segera menutup semua tambang-tambang liar di tanah Papua.
“Berdasarkan surat tersebut, kami meminta dengan hormat PT MSI di Intan Jaya harus ditutup.”
Selain mengambil emas dan kekayaan lainnya, perusahaan juga sering kala memperalat masyarakat setempat, hal ini dikarenakan keterbatasan pengetahuaan mereka.
Sejak melakukan eksplorasi tahan awal di Intan Jaya, persahaan PT MSI masuk tanpa memaparkan AMDAL dari perusahaan terhadap penduduk setempat.
“Bagamana masyarakat mau tahu perusahaan, kalau tak ada sosialisasi dari perusahaan kepada mereka saat akan beroperasi,” Tanya Misael.
Misal menduga, pemerintah Intan Jaya bekerja sama dengan perusahaan telah membodohi masyarakat untuk membunuh kepentingan mereka.
Kabupaten Intan Jaya merupakan salah satu daerah pemekaran dari Kabupaten Paniai. Ia memekarkan diri sejak tahun 2008. Ibukota Kabupaten adalah Sugapa, dan memiliki enam distrik. Dengan penduduk asli setempat adalah suku moni (Migani).
ARNOLD BELAU
PAPUAN, Jayapura --- Banyak pihak di Papua menyesalkan komentar Habib Rizieq dan Munarman dari Forum Umat Muslim (FUI) yang dianggap memprovokasi, dan menyesatkan opini masyarakat, terutama bagi yang berada di tanah Papua.
“Kami organisasi kepemudaan umat Kristiani di tanah Papua sangat menyesalkan pernyataan Habib Rizieq dan Munarman,” ujar Terius Wenda, Ketua Forum Gerekan Baptis Papua melalui siaran pers yang dikirim ke Papua Voices, kemarin sore, Rabu (28/12).
Menurut Turius, penanganan konflik disuatu daerah harus bisa diselesaikan oleh negara, bukan oleh organisasi kemasyarakatan, atau lembaga agama tertentu.
“Tak ada satupun LSM, atau organisasi masyarakat yang dapat mengintervensi masalah Papua, terutama dalam bentuk dan format penyelesaiaanya,” jelas Turius.
Turius menambahkan, harusnya mereka (FUI) mengerti dan memahami akar persoalan di tanah Papua, dan jika dirasa sudah tahu banyak, maka dipersilakan untuk berkomentar.
“Jangan omong sembarangan, karena pernyataan begini bisa berakibat fatal atau mengarah pada konflik SARA atau Konflik agama.”
Menurut Turius, masalah Papua sesungguhnya bukan masalah makan–minum, akar masalah adalah masalah ideology dan sejarah integrasi yang penuh kotrovesial.
“Pernyataan berjihat di Papua yang disampaikan FUI adalah satu pukulan berat dan pernyataan yang sangat diskriminatif bagi kaum beragama minoritas terutama umat Kistiani di tanah Papua,” ungkap Turius.
Turius juga menyatakan orang Papua menghendaki pendekatakan dialog yang bermartabat dan kompherensif.
“Kami menolak pendekatan jihatan dan kekerasan militerisme di seluruh tanah Papua.”
Kami juga menghimbau kepada semua umat beragama jangan mudah terporvokasi isu SARA dan jihat di Papua, dan di harapkan untuk menciptakan rasa damai dan keamanan setiap dimanapun kita berada.
Komentar yang dimaksud adalah, pada tanggal 23 Desember 2011, FUI sempat mendatangi Kantor Kementerian Pertahanan, dan meminta pemerintah Indonesia bersungguh-sungguh kerja mempertahakan Papua dalam NKRI.
Dan, kata mereka saat itu, jika pemerintah tak mampu, mereka akan datang dan berjihad ke tanah Papua sendiri.
OKTOVIANUS POGAU
SELENGKAPNYA
“Kami organisasi kepemudaan umat Kristiani di tanah Papua sangat menyesalkan pernyataan Habib Rizieq dan Munarman,” ujar Terius Wenda, Ketua Forum Gerekan Baptis Papua melalui siaran pers yang dikirim ke Papua Voices, kemarin sore, Rabu (28/12).
Menurut Turius, penanganan konflik disuatu daerah harus bisa diselesaikan oleh negara, bukan oleh organisasi kemasyarakatan, atau lembaga agama tertentu.
“Tak ada satupun LSM, atau organisasi masyarakat yang dapat mengintervensi masalah Papua, terutama dalam bentuk dan format penyelesaiaanya,” jelas Turius.
Turius menambahkan, harusnya mereka (FUI) mengerti dan memahami akar persoalan di tanah Papua, dan jika dirasa sudah tahu banyak, maka dipersilakan untuk berkomentar.
“Jangan omong sembarangan, karena pernyataan begini bisa berakibat fatal atau mengarah pada konflik SARA atau Konflik agama.”
Menurut Turius, masalah Papua sesungguhnya bukan masalah makan–minum, akar masalah adalah masalah ideology dan sejarah integrasi yang penuh kotrovesial.
“Pernyataan berjihat di Papua yang disampaikan FUI adalah satu pukulan berat dan pernyataan yang sangat diskriminatif bagi kaum beragama minoritas terutama umat Kistiani di tanah Papua,” ungkap Turius.
Turius juga menyatakan orang Papua menghendaki pendekatakan dialog yang bermartabat dan kompherensif.
“Kami menolak pendekatan jihatan dan kekerasan militerisme di seluruh tanah Papua.”
Kami juga menghimbau kepada semua umat beragama jangan mudah terporvokasi isu SARA dan jihat di Papua, dan di harapkan untuk menciptakan rasa damai dan keamanan setiap dimanapun kita berada.
Komentar yang dimaksud adalah, pada tanggal 23 Desember 2011, FUI sempat mendatangi Kantor Kementerian Pertahanan, dan meminta pemerintah Indonesia bersungguh-sungguh kerja mempertahakan Papua dalam NKRI.
Dan, kata mereka saat itu, jika pemerintah tak mampu, mereka akan datang dan berjihad ke tanah Papua sendiri.
OKTOVIANUS POGAU
Kabupaten Paniai, Enarotali (Foto: Ist) |
Kota Enarotali, juga Madi (Ibukota Kabupaten Paniai), tampak sepi sekali. Bisa dikatakan seperti kota Mati.
Para pegawai negeri memilih tinggal di rumah. Anak-anak enggan ke sekolah. Pejalan kaki nampak tidak terlihat. Mama-mama pasar sudah tak berjualan. Benar-benar sepi.
Yang terlihat hanya aparat militer. Polisi dan Brimob selalu siaga. Dimana saja pasti mereka ada; di pasar, terminal, kantor-kantor, toko-toko, dan bahkan di Gereja.
Tiap malam pasti terdengar rentetan tembakan. Paling terburuk adalah di Markas Eduda, dan beberapa kampung sekitarnya. Sampai saat ini, Kamis (29/12), rentetan tembakan masih terus terdengar.
Kepada Papuan Voices, Pimpinan TPN/ OPM Jhon Magai Yogi, mengatakan, bahwa rentetan tembakan itu dilakukan oleh pasukan Brimob.
“Tidak tahu mereka (Brimob) lihat apa baru tembak, karena anggota kami tidak mengeluarkan peluru banyak seperti mereka."
Sehubungan dengan hal itu, Kapolres Paniai, AKBP Janus Siregar, S.Ik mengatakan bahwa anggota Brimob yang ada di Eduda diharapkan siaga untuk antisipasi kemungkinan adanya serangan balik dari TPN/OPM.
“Tapi saya belum tahu pasti, apakah anggota yang tembak atau terjadi kontak senjata. Saya akan cek ke anggota,” kata Kapolres ketika menghubungi Papuan Voices, kemarin Rabu (28/12), dari Paniai.
Suasana ini membuat masyarakat dibeberapa kampung dekat markas Eduda resah, apalagi karena tiap saat mendengar rentetan tembakan, disertai patroli secara rutin oleh aparat Brimob.
Ditengah situasi meresahkan ini, sebagian masyarakat memilih mengungsi ke kampung lain hingga natal usai, sedangkan sebagian orang lainnya memilih tetap tinggal untuk mempersiapkan diri merayakan natal di Kampung mereka.
Oktovianus Pekey, salah satu tokoh agama di Paniai mengatakan aparat Brimob selalu rutin mendatangi warga di kampung-kampung.
“Beberapa jam sesudah malam kudus (Tanggal 24 Desember 2011), sekitar pukul 02.00 WIT warga di kampung dekat Eduda didatangi pasukan Brimob lengkap dengan senjata. Mereka jalan dari rumah ke rumah.”
Lanjut Oktovianus, tujuannya mencari anggota TPN/OPM yang diduga bersembunyi di rumah-rumah warga sipil.
“Sepanjang perjalanan dari kampung ke kampung, pasukan Brimob menembak ke semua arah, akibatnya berbagai tanaman di kebun milik warga seperti pisang, tebuh, keladi dan pohon hancur,” ungkapnya.
Oktovianus mengatakan, tindakan aparat tidak sekedar itu saja, pasukan Brimob menendang dan mendobrak pintu rumah warga sipil dan masuk kedalam rumah.
“Tindakan pasukan Brimob ini membuat keluarga yang ada dalam rumah ketakutan bahkan anak-anak kecil kaget terbangun dan menangis,” jelas Oktovianus.
Disampaikan, hal yang sama terjadi pula pada malam berikutnya (25 Desember 2011). Aparat Brimob lengkap dengan senjata kembali mendatangi rumah-rumah warga sipil pada pukul 01.00 WIT pagi.
Terkait tindakan brutal aparat yang mendatangi rumah mereka secara paksa disampaikan oleh seluruh masyarakat di Wilayah Wegamo (distrik Paniai Timur) yang berasal dari 10 Gereja di tiga desa, yang meliputi Kampung Muyedebe, Kampung Uwamani, Kampung Kinou, kampung Geko, Kampung Badauwo, Kampung Yegemei, Kampung Yagiyo dan Kampung Toko.
Karena sering didatangi pasukan Brimob, masyarakat dari beberapa kampung yang sering istrahat di rumah dan Emawaa (rumah laki-laki Suku Mee) panik dan takut.
Akhirnya, masyarakat memilih mengungsi ke kampung-kampung lain sehingga pada sore hari tanggal 25 dan 26 desember 2011 terjadi pengungsian besar-besaran.
Pengungsian yang sedang terjadi di beberapa kampung di sekitar markas Eduda dibenarkan oleh Kapolres Paniai.
“Tadi (Selasa, tanggal 27 Desember 2011), saya jalan kaki pergi dan pulang dari Eduda, saya lihat masyarakat dibeberapa kampung disekitar Uwamani tidak ada. Nampak sepi sekali. Kemana mereka semua?” tanya Kapolres.
“Mungkin mereka keluar kampung karena ada isu sebelumnya OPM akan serang pasukan Brimob, jadi kemungkinan karena isu itu. Tetapi kami tidak akan korbankan masyarakat. Bahkan kami justru punya rencana bangun Pos di Uwamani untuk menjaga warga dari ancaman OPM,” lanjut Kapolres.
Terkait rentetan tembakan pada tanggal 27 malam, Kapolres tidak memberikan keterangan yang pasti.
Sementara itu, menurut sebuah sumber Papuan Voices, bahwa pada siang hari (tanggal 27 Desember), waktu pasukan (Polisi dan Brimob) jalan kaki menuju Eduda, karena melihat tak ada warga sipil, mereka melakukan tembakan secara brutal di rumah-rumah warga.
Mendengar berita bahwa masyarakat di wilayah Wegamo sudah mengungsi, masyarakat di wilayah Ekadide (disebelah gunung markas Eduda) pun panik dan gelisah, dan lebih memilih keluar dari kampung tersebut.
Melihat kondisi masyarakat yang pada panik, maka (Selasa 27 Desember 2011), masyarakat dari beberapa kampung di wilayah Wegamo (Kampung Dagouto, Kampung Kopabutu, Kampung Obaiyoweta, Kampung Dei, Kampung Eyagitaida) kembali berkumpul mengadakan pertemuan bersama di kampung Dei.
Tujuan pertemuaan ini untuk mengantisipasi kemungkinan terburuk yang akan terjadi bila aparat Brimob bertindak lebih brutal lagi.
Kesimpulannya, mereka menyepakati bahwa, siapa saja yang merasa tidak bisa bertahan dalam situasi seperti ini, bisa mengungsi, terutama bagi anak-anak dan ibu-ibu.
Sementara ini, masyarakat memang masih takut, kemungkinan terjadinya kontak senjata di wilayah Ekadide. Masyarakat hanya sedang ikuti perkembangan; apakah kontak senjata akan kembali terjadi lagi atau tidak?
Rangkaiaan peristiwa yang terjadi beberapa minggu belakangan ini kembali mengingatkan masyarakat Paniai pada situasi yang pernah mereka alami ketika operasi militer di Paniai beberapa tahun silam.
Misalnya, operasi militer yang terjadi tahun 2000, 2002 dan 2003. Tahun-tahun ini ialah tahun-tahun dimana Undang-Undang Otonomi Khusus Papua telah diberlakukan, namun daerah Paniai masih status daerah operasi militer
Selain itu, peristiwa kontak senjata antara TPN/OPM dengan Timsus 753 Paniai menjelang 17 Agustus 2011 lalu, di Madi, Paniai, Papua.
Peristiwa ini menyebabkan masyarakat panik dan mengungsi besar-besaran, akibatnya seluruh aktivitas masyarakat macet dan semua sumber-sumber penghidupan masyarakat lumpuh total.
Saat itu masyarat harus kembali membangun hidupnya mulai dari awal, misalnya harus kembali berkebun atas kebun-kebun yang hancur, harus kembali mencari bibit ternak untuk memelihara ternak, kembali membereskan rumah dan sekitarnya akibat pengerusakan, anak-anak sekolah mengulang kelas akibat putus sekolah dan lain-lain.
Dalam suasana trauma, kini merekapun dikagetkan dengan kedatangan pasukan Brimob dari Kelapa II Depok (Jawa Barat), dan pasukan yang diperbantukan dari Jayapura, dan Timika.
Melihat kehadiran pasukan Brimob yang dengan mengenakan pakaian militer sebagaimana dalam situasi perang membuat masyarakat Paniai menjadi resah dan takut.
Kebanyakan masyarakat mulai bertanya-tanya; untuk apa pasukan Brimob datang ke Paniai? Dengan kehadiran Brimob, dengan atribut militer lengkap ini, apakah akan terjadi perang atau apakah mereka mau perang dengan kelompok TPN OPM di markas Eduda?
Kalau terjadi perang, bagaimana masyarakat menyelamatkan diri? Ini menjadi pergumulan utama masyarakat Paniai saat ini.
Sampai saat ini sebagian besar warga Paniai, khususnya di kampung-kampung dekat markas OPM masih berada di tempat pengungsian. Nasib mereka tak menentu.
Laki-laki sudah tidak berkebun lagi seperti biasanya. Ibu-ibu juga tak ada yang jualan di pasar. Apalagi anak-anak, mereka tak berani ke sekolah.
Semua masyarakat Paniai menanti, kapan datangnya suasana yang tenang dan damai. Entahlah! Kita belum tahu. Kita semua belum tahu.
Atau mungkin operasi militer di Paniai merupakan kado natal dari pemerintah Indonesia untuk rakyat Papua Barat.
Saat ini kita sama-sama sedang berjuang untuk mewujudkan kedamaian yang sesungguhnya; kedamaian bagi seluruh rakyat Papua Barat di tanah Papua, dan Paniai secara khusus.
OKTOVIANUS POGAU
Pasukan Elit Indonesia (Foto: Ist) |
Malahan, beberapa warga sipil di Paniai melaporkan tensinya semakin meningkat, dan aparat TNI/Polri justru semakin bertindak brutal.
Banyak warga sipil yang telah menjadi korban dari operasi tersebut. 14 warga sipil dikabarkan tewas. Puluhan warga sipil lainnya luka-luka. Puluhan rumah warga sipil dibakar aparat TNI/Polri.
Ribuan warga sipil telah mengungsi dari Paniai sejak operasi militer dilangsungkan. Ada yang ke Nabire, Dogiyai, Deiyai, bahkan sampai ke Timika. Namun, ada juga yang memilih tetap bertahan di Paniai walau takut.
Oktovianus Pekey, salah satu tokoh agama di Paniai, siang tadi, Rabu (28/12) melaporkan, dalam suasana natal, situasi Paniai bukan semakin membaik, namun semakin mengkhawatirkan.
“Sejak tanggal 24 Desember malam, aparat Brimob lengkap dengan senjata telah mendatangi rumah-rumah warga sipil, dan mendobrak pintu rumah mereka, dan menanyakan keberadaan TPN/OPM.”
Padalah, lanjut Okto, mereka adalah warga sipil yang tak tahu apa-apa tentang keberadaan TPN/OPM yang dimaksud aparat Brimob tersebut.
Selain menanyakan keberadaan TPN/OPM, Brimob juga secara brutal menembak kebun-kebun milik warga sipil, ternak babi, dan menimbulkan rasa takut yang berlebihan.
“Yang ditembak seperti pohon pisang, tanaman tebu, tanaman keladi, ternak babi yang mau di barapen saat natal, dan barang-barang apa saja yang ada disekitar rumah warga.”
Okto menjelaskan, karena takut, tidak ada warga yang tinggal di Paniai, terutama di tiga kampung dekat markas Eduda, Paniai.
“Aparat Brimob tiap malam melakukan sweeping tanpa sebab dan akibat, ini justru menimbulkan ketakutan diantara masyarakat,” jelasnya.
Okto menambahkan, saat pertemuaan antara Muspida dan masyarakat Paniai yang di gelar pada tanggal 20 Desember 2011 lalu, dirinya telah meminta agar Kapolsek dan komandan Brimob dapat membatasi ruang gerak anak buahnya yang sering meresahkan warga sipil.
“Saya waktu itu minta Kapolsek dan Komandan Brimob dapat membatasi ruang gerak anak buah mereka, karena tentu warga takut sekali melihat mereka.”
Namun, kata Okto, sampai saat ini tak ada respon, dan malahan mereka bertindak lebih brutal lagi.
“Tadi siang ada helicopter yang digunakan untuk memantau situasi di sekitar Paniai, dan sampai juga ke markas Eduda. Padahal, sudah beberapa hari lalu telah tak digunakan,” tutur Okto.
Melihat ada helikopter berputar-putar di Paniai, tentu menimbulkan pertanyaan lagi bagi warga Paniai.
“Kami masih terus memantau situasi di sini,” ungkap Okto.
Beberapa waktu lalu, dalam berbagai media massa, Bupati Kabupaten Paniai, Naftali Yogi S.Sos telah menyatakan situasi di Paniai aman dan kondusif.
Namun, yang bisa kita lihat situasinya berbeda. Situasi Paniai sangat-sangat mengkahwatirkan, dan bisa dikatakan dalam kondisi yang darurat.
Komentar Bupati oleh banyak pihak dituding sebagai pembohongan public alias “tipu” karena fakta yang terjadi di lapangan berbeda sekali.
OKTOVIANUS POGAU
Ismail Asso Tokoh Muslim Papua (Foto: Ist) |
Kepada Papuan Voices, kemarin siang, Selasa (27/12) Ismail Asso, Ketua Muslim Pegunungan Tengah Papua, menegaskan rakyat Papua tidak perlu takut dengan pernyataan tersebut, karena dinilai hanya bentuk cari muka.
“Itu Ormas goblok, mereka cari muka saja. Mereka juga tidak punya massa di Papua, jangan takut kalau mereka akan datang ke Papua,” ujarnya dalam pesan elektronik.
Asso juga menambahkan, jika benar FUI datang berjihad di Papua, dirinya bersama muslim Papua lainnya akan berdiri paling depan untuk mengusir mereka.
“Muslim Papua dan saya ada dibarisan paling depan usir dorang. Saya mampu menghentikan mereka datang ke Papua, karena gerakan mereka kecil dan pinggiran."
"Saya tidak khawatir, mereka hanya intermezo atau hanya cari perhatian atau numpang tenar,” jelas Asso.
Ismail juga mengharapkan rakyat Papua tidak terpancing terhadap isu-isu murahan yang disebarkan ormas-ormasi Islam seperti FUI, karena menurut Ismail mereka mengatasnamakan Islam saja, dan tak punya pengikut yang jelas.
“Saya dari dulu tahu watak Ormas kecil model FUI. Diantara mereka pasti ada yang kenal dengan saya, saya benci dengan mereka semua. Mereka hanya mengatasnamakan Islam saja,” tutup Ismail.
OKTOVIANUS POGAU